Kawasan hutan di Indonesia
merupakan asset penting dalam pembangunan nasional berkelanjutan. Permasalahan
yang dihadapi oleh hutan Negara saat ini adalah menurunnya kualitas hutan untuk
memberikan pasokan terhadap industri perkayuan. Sebagian hasil produk kayu
hutan Indonesia diekspor ke luar negeri sebagai salah satu penghasil devisa negara
selain migas, sebagian lainnya untuk memenuhi keperluan domestic dengan harga
yang umumnya lebih rendah dibandingkan harga di pasaran internasional. Kondisi
ini menyebabkan banyak terjadi penyelundupan kayu atau perdagangan kayu illegal
(illegal trading).
Menyangkut masalah illegal logging atau illegal trading, pemerintah sebagai
pengambil kebijakan sudah berusaha memberantas peredaran kayu illegal melalui penegakan
hokum (hard approach) dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan
Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia. Selain melakukan penegakan hokum dalam memberantas illegal logging/trading, Pemerintah juga
menjalin kerjasama dengan Negara-negara Eropa melalui FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement, Governance and
Trade, Voluntary Patnership Agreement) dalam rangka membangun sistem
perdagangan kayu legal yang memenuhi Legal
Compliance, Legal Origin dan Sustainable Origin.
Selain hal-hal di atas,
pemerintah juga mendorong dan mempromosikan pembangunan kehutanan yang berbasis
masyarakat antara lain dengan menggalakkan penanaman komoditas kehutanan pada
lahan-lahan rakyat/lahan milik. Kayu yang dihasilkan pada lahan milik rakyat
ini pengelolaan dan pemanfaatannya sepenuhnya menjadi hak pemilik. Pemerintah
bertugas memberikan kepastian hukum kepada masyarakat baik penghasil maupun
pengguna hasil hutan rakyat. Hal ini sesuai dengan permintaan pasar
internasional yang menuntut produk kayu yang ramah lingkungan dan dapat
dipertanggungjawabkan asal-usulnya.
Setelah memperoleh pengakuan
berupa sertifikasi SVLK atas hutan Hak atau private
forest management pada bulan September 2014, kali ini KSU Alas Mandiri KTI sebagai
pemilik Ijin industri primer (Ijin Usaha Industri Pengolahan Hasil Hutan
Kayu/IUIPHHK) berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor :
522/11.4/023/2010, yang diterbitkan pada tanggal 04 Februari 2010, kembali mengikuti
proses audit sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu pada industri pengolahan
kayu milik KAM KTI. IUIPHHK milik KSU Alas Mandiri KTI merupakan industri
pengolahan kayu yang menghasilkan kayu gergajian dengan bahan baku berupa kayu
bulat terutama sengon yang bersumber dari hutan rakyat yang dikelola secara
lestari dengan kapasitas ≤ 6.000 M3/Tahun.
Kegiatan verifikasi ini mengacu
pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Standar dan
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi
Legalitas Kayu pada Pemegang izin atau pada Hutan Hak, dan Peraturan Direktur
Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.5/VI-BPPHH/2014 tentang Standar dan
Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)
dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK).
Standar Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)
pada pemegang IUIPHHK kapasitas ≤ 6.000 M3/Tahun dan IUI dengan nilai investasi
≤ 500 juta ini harus memenuhi 4 prinsip, yaitu :
1. Pemegang
izin usaha mendukung terselenggaranya perdagangan kayu yang sah,
2. Unit
usaha mempunyai dan menerapkan sistem penelusuran kayu yang menjamin
keterlacakan kayu dari asalnya,
3. Keabsahan
perdagangan atau pemindahtanganan hasil produksi, dan
4. Pemenuhan
terhadap peraturan ketenagakerjaan bagi industri pengolahan.
Proses verifikasi ini berlangsung
pada tanggal 15-20 Desember 2014. dan pada Dari hasil pelaksanaan verifikasi
tersebut, dinyatakan bahwa KSU Alas Mandiri KTI sebagai pemilik IUIPHHK telah memenuhi Standar Legalitas Kayu dengan
diterbitkannya sertifikat nomor LVLK-003/MUTU/LK-247
pada 26 Januari 2015 dengan masa
berlaku hingga 25 Januari 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar